Awal kemunculan tiban ini menandakan adanya suatu interaksi antara manusia dengan alam pikiran mistis. Maksudnya bahwa dibalik pelaksanaan kesenian ini mengandung makna filosofis tertentu terhadap kekuatan gaib sehingga memunculkan adanya kekuatan supranatural yang berasal dari luar diri manusia. Kekuatan tersebut muncul karena pengaruh dari beberapa sarana dan prasarana ritual yang dilantunkan melalui do'a atau mantra tertentu. Kesenian ini disebut sebagai ritual karena memiliki beberapa ciri seperti yang diungkapkan oleh R.M Soedarsono, secara garis besar ada enam ciri yaitu pemainnya dipilih orang yang dianggap suci atau membersihkan diri secara spiritual, pertunjuknya dipilih tempat yang dianggap sakral, waktu pertunjukan dipilih waktu yang dianggap sakral, menggunakan sesaji sebagai perlengkapan dan tujuan ritual lebih diutamakan dari pada sebagai tontonan. Adapun perlengkapan sesaji yang digunakan adalah sebagai berikut : nasi tumpeng beserta lauknya berupa ayam ingkung, mentimun,kuluban, mie goreng tahu, tempe goreng, telur rebus, beserta jajan pasar dan pisang, terdapat juga kemenyan yang dibakar sebagai sarana perantara antara manusia dan dunia gaib lainnya. Hal tersebut dilakukan masyarakat Trenggalek karena kehadiran nasi tupeng beserta isinya memiliki makna bahwa umat manusia di dunia ini akan selalu kembali kepada Yang Maha Kuasa yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Menurut masyarakat setempat pertunjukan tiban ini mayoritas diperankan oleh anak laki-laki yang umurnya tidak kurang dari 15 tahun. Ini dilakukan supaya dalam proses pelaksanaan persiapan ritual (tirakatan) tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Terdapat pula semacam larangan atau aturan tertentu ketika pertunjukan ini berlangsung, diantaranya adalah :
- Permainan harus dilakukan satu lawan satu dengan umur yang sejajar, dan tidak boleh lebih tua atau lebih muda.
- Daerah yang boleh dicambuk hanya bagian leher sampai batas tali pusar.
- Pembuatan properti yaitu cambuk (terbuat 10-15 dari lidi aren yang masih segar) hanya boleh dilakukan ketika pertunjukan akan berlangsung dan tempatnya sesuai dengan tempat ritual yang ditentukan serta menggunakan mantra-mantra tertentu juga.
- Pelaksanaan ritual dibatasi antara pukul 12.00-17.00 WIB
- Mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan. Sebelum melaksanakan ritual Tiban para peserta harus menyiapkan alat yang digunakan dalam acara ritual. Yang wajib dimiliki adalah “cambuk”. Cambuk berasal dari lidi tumbuhan Aren (Arenga sacchrifera L.) yang diuntai atau dipelintir dengan sedemikian rupa sehingga membentuk suatu cambuk.
- Membacakan mantra. Mantra digunakan untuk memohon kepada Sang Pencipta, agar diberikan karunianya yang berupa hujan.
Tiban bertujuan untuk mengakhiri musim kemarau panjang atau lebih singkat adalah memohon diturunkannya salah satu unsur paling penting di bumi yaitu air (Hujan).
Apabila ditinjau dari segi karya seni, dapat diketahui bahwa Tiban merupakan karya seni yang mengagumkan. Mengagumkan karena pada setiap jenjang peradaban manusia selalu muncul karya seni yang menampilkan sebuah pengorbanan (bukan kekerasan).
Apabila ditinjau dari segi mistik, maka Tiban juga dikatakan sangat mengagumkan. Mengagumkan karena pada setiap tempat di muka bumi selalu mempunyai ucapan “ilahi” (Mantra) yang selalu dipercaya mampu mengatasi berbagai persoalan dengan jalan fikir yang kurang rasional.
Dari uraian di atas dapat diambil essensi bahwa dengan perpaduan antara Seni dan Mistik maka manusia dapat menciptakan suatu karya yang sangat mengagumkan selain itu, dengan mengorbankan sesuatu, kita dapat memperoleh sesuatu lain yang lebih berharga dan bermanfaat bagi kita maupun lingkungan sekitar kita.
Source: kaskus.us, trenggalek.com dan berbagai sumber lain